Tuesday, January 17, 2012

Pulang Kampung, Nih!

Perjalanan Padang - Solok
"Setelah sekian lama, April 2011akhirnya saya mengunjungi kampung halaman Papa dan Mama di Solok (Sumatera Barat). Ada rasa berbeda pada mudik kali ini." 
Saya pergi hanya berdua Mama. Waktu Mama ngajakin pulang kampung, saya langsung excited dan mengiyakan. Saya emang lagi gila travelling. Kebetulan juga nggak ganggu waktu ngajar. Ngapain ke kampung, padahal nggak Lebaran? Mama minta didoain orang kampung supaya bisa naik haji tahun 2011. Statusnya waktu itu masih waiting list. (Eh alhamdulillah loh, doa mereka makbul. Mama berangkat haji.)

Untungnya Garuda lagi promo. Kami dapat tiket lumayan murah, Rp900ribu-an untuk perjalanan pergi pulang Jakarta - Padang. Kami dijadwalkan take off Jumat, 29 April 2011 pukul 19:10. Dengan alasan keterlambatan datangnya pesawat dari Palembang, kami terpaksa menunggu kurang lebih 25 menit. Setelah itu, GA166 mengudara tanpa hambatan. Kami landing di Padang pukul 21:15, disambut hujan deras. Uda Emi sudah menunggu kedatangan kami dan siap mengantar ke rumah Ibu (kakaknya Mama) di Lapai.

Oke, supaya ceritanya nggak kepanjangan, saya rangkum dalam bentuk berita foto ya....  (Tapi, foto-foto saya jelek, karena cuma bawa kamera digital jadul 3 mega pixel. Hiks, pengin punya kamera baru!)



Air Terjun Lembah Anai
Sabtu, 30 April 2011 - Setelah sholat subuh, kami (saya, Mama, Ibu, Pak Uwo, dan Uda Emi) langsung meluncur ke Bukittinggi. Mau jalan-jalan dulu sebelum ke kampung. Kenapa pagi-pagi banget? Setiap Sabtu jalur ke Bukittinggi sering macet. Oiya, kami sempat mampir ke Air Terjun Lembah Anai. Letaknya di pinggir jalan, sekitar 60 km dari Padang. Banyak orang yang minggirin mobilnya, sekadar "bermain air", membasuh muka, atau memotret seperti saya :) Deskripsi lengkap Air Terjun Lembah Anai bisa diintip di sini.



"Big Ben"-nya Indonesia
alias Jam Gadang Bukittinggi
Sampai di Bukittinggi, masih sepi. Tujuan pertama tentu Jam Gadang! Saya langsung pose cantik di  depan landmark kebanggaan orang Minang. Karena cuma sebentar, saya nggak sempat mengeksplor. Saya penasaran pengin lihat kondisi di dalam menara jam besar itu.



Monumen Bung Hatta, Bukittinggi
Tidak jauh dari situ, ada monumen Bung Hatta. Berdiri tegak patung Wakil Presiden RI ke-1, Muhammad Hatta, salah satu putra terbaik dari Sumatera Barat. Hormat dulu deh! :)


Milih2 mukena dan kerudung.
Mau beli jilbab bordir khas Bukittinggi? Mampirlah di pertokoan sekitar Jam Gadang. Di sini tersedia berbagai macam jilbab, mukenah, gamis, bahan, dan cinderamata khas Bukittinggi. Apa yang istimewa? Bordir Bukittinggi sangat detail dan eksklusif, karena dibuat dengan tangan sendiri (hand made). Harganya? Relatif. Yang pasti, datang ke sana pagi-pagi, kamu pasti bakal dapat potongan harga lumayan besar sebagai penglaris. Istilahnya "Harga pecah telur".


Bendi berjejer siap membawa kamu keliling Bukittinggi
Bendi juga ada di sini. Bendi adalah nama lain delman atau andong. Lagi-lagi, saya nggak sempat mencoba kendaraan tradisional yang satu ini. Pasti nikmat naik bendi sambil melihat-lihat kota Bukittinggi yang indah dan sejuk. Lain waktu, harus coba!

Setelah puas berbelanja, kami sempat mengisi perut kosong kami dengan penganan Es Cindu Durian (Es Cendol Durian), lalu makan besar di sebuah restoran (duh saya lupa namanya). Pokoknya makanannya enak-enak. Mereka juga menyediakan makanan padang versi kampung. Huhuhu sayang banget saya nggak sempat foto. Habis, kameranya jelek :( jadi nggak semangat moto.

Overall, dari kunjungan ke Bukittinggi yang singkat itu, saya bertekad akan datang lagi ke sini. HARUS!


Panjalangan Nan Jauah Di Mato
Danau Singkarak
Kampung halaman Papa dan Mama saya bernama Desa Panjalangan. Letaknya, tidak jauh dari Sungai Ombilin, Solok. Tak jauh dari situ, kelihatan pula Danau Singkarak nan anggun.

Dari jembatan Ombilin ke kampung saya kira-kira memakan waktu 30 menit. Kalau dari Padang, kurang lebih memakan waktu 3-4 jam. Jalan menuju Panjalangan naik turun bukit. Untung saja, jalannya bisa dilalui kendaraan. Suasananya? Masih desa banget deh! Mandi saja masih di pancuran. Masak juga banyak yang masih pakai kayu bakar.

Mama langsung semringah waktu kami memasuki tanah kelahirannya. Yuk ngintip nostalgia Mama lewat foto-foto berikut.


Ziarah ke makam Mak Malin, Nenek, dan Mak Uwo
Oiya, di rumah Mak Malin, saya nemu foto beliau
waktu masih muda dulu :)
Agenda pertama: ziarah ke kuburan Nenek Maryam (ibunya Mama), Mak Uwo (kakak pertama Mama), dan Mak Malin (abang sepupu Mama yang dituakan). Mereka dimakamkan nggak jauh dari Rumah Gadang keluarga  besar. Setelah itu, kami ziarah ke Datuk Khotib (pamannya Mama), Nenek Nita (ibunya Papa), dan makam Datuk Idrus (ayahnya Papa). Sedih deh lihat kuburan (alm) Datuk yang tidak terurus. Bahkan nisan pun nggak ada. Padahal Papa udah nitipin uang untuk menyemen dan memberi nisan makam Datuk. Tau deh uangnya dikemanain.



Tiga tempat bersejarah bagi keturunan Nenek Maryam
Kiri atas: rumah Mama dan kakak-kakaknya.
Kanan atas: salah satu surau dekat Masjid.
Bawah: Rumah gadang.
Rumah Gadang kami masih berdiri, meskipun hampir runtuh. Tapi seenggaknya ada peninggalan budaya yang bisa saya lihat. Mama dan Ibu nggak "berani" masuk ke dalam. Sedih, katanya. Mereka jadi ingat para tetua yang udah meninggal. Di sebelah Rumah Gadang ada bangunan kayu kecil yang dulu fungsinya sebagai dapur. Jauh sebelum itu, "gudang" itu ternyata rumahnya Mama :( Bayangin, ruangan sekecil itu harus muat 7 orang. Untungnya, anak laki-laki diwajibkan tinggal di surau (seperti mushola kecil) setelah baligh. Jadi, tempat itu sedikit lega saat ketiga abang Mama pindah ke surau. Hiks, jadi sedih. Saya bersyukur nggak hidup menderita kayak Mama.




Mama nggak tahan pengin mandi di luak :p
Mengenang masa lalu ya Ma?
Ayo main air ke luak atau pancuran. Karena mata air jauh dari permukiman penduduk, mesin air biasa (bahkan jet pumpnggak mampu "ngangkut" air ke kamar mandi mereka. Alhasil, mereka masih mandi dan mencuci di luak, serta memenuhi kebutuhan air dari sana. Pemandangan kaum perempuan (dari anak kecil sampai nenek-nenek) yang mengangkat seember penuh air di kepalanya sudah lazim di Panjalangan. Jangan salah. Air di luak bersih, dingin, dan segar! Volume airnya pun dari dulu alhamdulillah stabil. Tapi saya nggak berani mandi di luak karena nggak bisa pakai kain basahan. Ribet :p Dan biasanya jadi tontonan orang di sana karena saya rempong. Trus saya mandinya di mana? Saya mandi di kamar mandi yang baknya sudah menampung air hujan.



Bebek-bebek cari makan di tobet.
Dekat luak, ada tobet alias kolam ikan atau empang. Keluarga kami hanya punya sebidang tobet yang tidak terlalu luas. Tapi, ikannya lumayan banyak, lho... Selain hasil ikannya untuk pangan sehari-hari kerabat yang mengurus, tobet biasanya dikuras kalau ada acara syukuran atau ada perantau yang datang ke kampung. Seperti waktu kami pulang, kami pesta makan ikan!


Temu kangen Mama dan teman-teman & saudaranya.
Tujuan utama Mama tentu bertemu kerabat dan teman masa kecilnya!  Mama ngumpulin mereka. Setiap hari ada saja saudara atau teman Mama yang datang dan bawain kami masakan..Beberapa orang Mama datangin langsung ke rumahnya. Saya ikutan. Sambil memperhatikan keseharian mereka.  Selain nostalgia masa kecil dan silaturahmi, Mama juga meminta doa dari mereka agar rencana naik Haji lancar. Ya, saya percaya dengan kekuatan doa. Doa orang banyak pasti lebih "didengar" Alloh SWT.


Apa yang beda?
Seperti yang saya bilang di teaser. Mudik kali ini ada perasaan yang berbeda. Saya yang dulunya malas diajak ke kampung tiba-tiba jadi betah di sini. Saya sedih karena Rumah Gadang di Panjalangan nyaris punah. Dulu masih banyak yang membangun rumahnya dengan gaya Rumah Gadang (walau bangunannya tak selalu dari kayu). Sekarang? Kalaupun ada 1-2, itupun hampir runtuh dan tidak ditempati lagi.

Generasi penerus Panjalangan.
Saya sedih karena Panjalangan sekarang sepi. Iya, sepiii sekali. Orang-orangnya banyak yang merantau. Saat kami sholat berjamaah di Masjid, sedih sekali melihat segelintir jamaah yang kebanyakan kaum ibu paruh baya dan anak-anak. Alhamdulillah sih, masih banyak anak-anak. Mereka kelak dewasa dan membangun Panjalangan. Hmmm, atau jangan-jangan mereka akan merantau juga?

Oiya, anak-anak perempuan di sini senang banget ngeliatin kawat gigi saya. Mereka beberapa kali bertanya kenapa gigi saya dikawatin. Ahahahhaah. Saya jawab aja, "Gigi uni buruak. Indak ancak," dengan bahasa dan logat Minang yang kacau. Artinya, "Gigi kakak jelek. Tidak bagus." Mereka juga suka difoto :( Sayangnya, untuk ke seribu kalinya, kamera saya jelek. Hiks.

Little things from Panjalangan
Sempat terpikir, seandainya saya punya tabungan banyak, saya mau banget tinggal di sini. Dua malam menginap di sini hidup saya tenang. Nggak stres kena macet. Masih bisa mendengar kicauan burung dan menghirup udara segar. Di Jakarta, saya hampir tidak pernah lagi melihat capung (jangankan yang berwarna, yang hitam saja sudah jarang). Di sini, kupu-kupu dan capung bersayap warna-warni masih berseliweran! Cantik!

Oiya, perasaan beda yang lain adalah saya sekarang tidak malu lagi mengaku orang Padang. Ya, semua juga tahu stereotype yang menempel sama orang Minang: Pelit. Justru sekarang saya pengin banget bisa belajar bahasa Padang, tarian Padang, dan kesenian Padang lainnya. Juga belajar masak makanan Padang. Jangan cuma bisa makan doang. Ahahhahaa.

Selasa, 3 Mei 2011 - Sampai jumpa Padang. Kami pasti pulang (lagi).



2 comments:

  1. Aq baca tulisan ini, langsung timbul ide. Kamu pengen ke Solo kan? Aku pengen ke Padang. So??? We go to Solo first, Padang then :D

    ReplyDelete
  2. Yuk! Keren idenya. Pasti bakal irit! Karena kita adalah "tuan rumah" dari kota-kota itu. Yihaa!

    ReplyDelete