Siapapun happy bila disukai banyak orang. Saya dulu begitu, merasa semua pasti nyaman dekat saya. Kenyataannya? Ada yang nggak tahan sama mulut pedas saya. Ada yang menganggap saya sok asik. Ada yang risih karena saya terlampau "nyosor". Malah ada yang 'menderita' karena saya galak saat ngajarin Matematika. Untungnya dulu saya cuek menghadapi para haters itu. Justru penasaran kenapa mereka tidak suka, karena selama ini saya terbiasa menjadi 'badut' (i am the real sanguinist) yang sering mendapat 'tepuk tangan'.
Entah karena dulu terlalu naif atau sekarang sudah dewasa tua dan mulai mikir, saya sadar bahwa saya tidak mungkin bisa menyenangkan semua orang atau disenangi semua pihak. Menurut saya, rasa suka atau tidak suka terhadap orang atau sebaliknya merupakan preferensi yang sangat subjektif. Ketika ada satu orang yang benci saya mati-matian, sampai-sampai kalau berpapasan dia menghindar, tidak selalu berarti saya buruk. Atau ketika ada yang sangat memuji, lantas saya merasa menjadi orang yang paling disenangi. Tidak.
Sekali lagi, itu cuma preferensi yang subjektif. Dan bisa berubah 180 derajat, kapanpun. Menyenangkan dan menyebalkan adalah hal subjektif yang standarnya berbeda untuk setiap orang. Untuk Mouse, teman asyik adalah yang tangannya halus. Sedangkan Keyboard, paling sebal punya teman yang memijitnya pelan-pelan. Begitulah kira-kira. Jadi, jangan langsung sedih kalau ada orang yang tidak suka kamu. Sebaliknya, jangan ke-pede-an kalau ada yang suka sama kamu.
[Tidak] Selalu Ada Alasan
Apakah selalu harus ada alasan ketika kita suka atau tidak suka dengan orang? Agar lebih adil, harusnya sih selalu ada alasan. Misalnya kita tidak suka orang karena menganut nilai berbeda, pernah diperlakukan kurang menyenangkan, dia merugikan kita, mengingatkan kita pada sosok yang kita benci, atau punya selera yang berbeda. Sedangkan alasan kita menyukai orang bisa jadi karena dia sosok idaman, memiliki hobi sama, suka mentraktir, sering menolong, selalu menjawab pertanyaan, dan beribu alasan yang tidak sama untuk semua orang. Dan bisa jadi bertolak belakang: Boots benci cowok cuek, Bakiak justru mesem-mesem kalau dicuekin.
Untuk mendapatkan kesan-kesan di atas, kita harusnya mengenal dulu sosok yang mau diberi "label" itu. Ya, paling tidak, pernah "bersentuhan" dengan mereka. Misalnya, untuk memutuskan suka atau tidak suka dengan penyanyi, minimal kita mendengar suara atau lagunya dulu. Oiya faktor kondisi fisik, psikologis, situasi, dan kondisi kita juga bisa memengaruhi subjektivitas. Contohnya: saya pas SMA mendadak suka Oasis karena gebetan juga suka. Ahahhaa.
Jangan lupa mempertimbangkan stereotype! Harus diakui, masih banyak yang terjebak stereotype. Karena tahu seseorang berasal dari etnis tertentu ber-stereotype minus, lantas kita serta-merta memberi label tidak suka. Padahal, belum tentu orang itu kelakuannya minus.
Eh tapi, saya pernah loh benci orang setengah mati tanpa alasan. Oke, saya sebut merk deh. Entah mengapa saya nggak suka lihat Nafa Urbach (pada kenal nggak?). Saya nggak suka sejak pertama kali lihat di majalah. Padahal, sedikit pun saya belum pernah membaca biodata atau artikel wawancaranya yang bisa jadi bahan justifikasi untuk label "suka" atau "tidak suka". Entahlah. Ada yang menebak saya benci dia karena nggak suka muka dan body-nya. Saya kekeuh bilang, "Nggak juga." (Btw, ada yang pernah mengalami hal serupa?)
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah orang lain wajib ngasih tahu alasan kebenciannya? Tentu kita tidak bisa menuntut. Tidak semua orang mau terbuka. Saya ingat dulu ada teman yang merasa dipilihkasihi karena jarang dipuji dan malah sering diketusi Sang Bos, padahal prestasinya bagus. Sedangkan, teman lain yang prestasinya biasa-biasa saja, sering sekali dihujani senyuman dan pujian. Teman saya penasaran kenapa Si Bos tidak bersahabat. Mau tanya langsung, nggak berani. Entah kenapa saya yakin Si Bos tidak benar-benar benci sama teman saya. Mungkin, dia hanya tidak mau teman saya cepat puas dengan keberhasilannya.
Follow-Unfollow
Agak lucu nih kalau bahas like and dislike ke dunia social media. Saya ambil contoh Twitter saja ya. Ngaku saja deh, kita suka keki kalau sudah mem-follow orang tapi tidak di follow back. Atau mencak-mencak dan agak sedih kalau tiba-tiba follower berkurang. Wajar saja sih, sangat manusiawi. Tapiii, jangan sampai deh Twitter bikin kita jadi nggak mood seharian. Di-follow atau di-unfollow itu adalah hal biasa, sama seperti konsep suka dan tidak suka.
Sadar "Pesan"
Walaupun suka - tidak suka itu subjektif dan sering tidak eksplisit , kita bisa kok membaca "message" verbal dan nonverbal dari orang sekitar. Kita bisa tahu saat orang lain tidak suka dan ingin berjarak dengan kita. Misalnya, dia tidak terlalu merenspons kehadiran kita dan melakukan "penolakan". Atau kalau di dunia Twitter, ada orang yang tidak pernah membalas mention kita, tapi dia selalu membalas mention yang lain (tapi mention orang yang kita kenal loh yaa, bukannya artis!). Bisa jadi, orang itu tidak suka kita. Kalau sudah peka membaca "pesan", kita pasti akan berhenti berusaha mati-matian untuk disukai orang itu. Nggak usah menghabiskan waktu, masih banyak kok yang suka kita!
Tapi tunggu dulu! Kalau setelah ditimbang-timbang ternyata perbandingan suka dan tidak sukanya sampai 1:99, banyak banget teman-teman yang menjauh, atau tiba-tiba follower berkurang 90 persen, mari mulai 'bercermin'. Jangan-jangan memang harus ada yang diperbaiki dari diri kita :)
klo menurutku yah message unverbal ini bisa juga jadi wahana introspeksi kita loh, karena biasanya kalo kita ngesense seseorang ada yang kasih message unverbal gak suka nih ke kita...misal kita gak tau alesannya kenapa dan pengen tau benernya, aku yakin tuh orang juga gak akan ngasih tau kenapa alesan dy gak suka sama kita nya...He/she just send the sign that he/she avoided us for example...klo udah gini ya susah...jd ya gak usah diwaro ajah lagi...sambil terus introspeksi diri sendiri untuk lebih baik lagi :)
ReplyDeletesetuju Neng.
DeletePointku adalah, ga usah sedih, keki, atau kesal kalau ada orang yang ga suka kita. Dan ga perlu mati2an berusaha supaya itu orang jadi suka.
... tapi, introspeksi penting.
wuaa... posting ini bikin aku teringat masa-masa masih menjadi ababil niy, pas itu aku berusaha banget agar disukai semua orang. Tapi bener kata Emy, berusaha menyenangkan semua orang itu nggak mudah. Malah lama-lama demi disukain beberapa orang aku malah bikin 'true friends'ku jadi bete. Sukurnya dengan bertambahnya umur, jadi makin bisa bersikap dan melihat situasi dengan lebih hati-hati. :)
ReplyDeletewuaaa ternyata kita dulu sama ya Chita :p
Deleteaku malah penasaran loh kenapa itu orang sampe ga suka aku, padahal yang lain suka berteman sama aku. ahahaha. (sok asik bener ya aku dulu)
untungnya sekarang udah sadar :))