Sunday, September 1, 2013

Angka Setelah 29 dan Bandung

Dari Cicendo menuju ITB.


Menurut saya, Bandung itu seorang perempuan. Berparas cantik, berkulit bersih, bertubuh langsing, berambut panjang dan lurus. Persis prototipe cewek-cewek Kota Kembang. Dia modis, gaul, dan menyenangkan. Orang-orang pasti penasaran kenalan dan kemudian berebut dekat dengannya. Dia tahu betul kelebihan dan kepopulerannya itu. Dengan kata lain, dia sombong.
Sebagai sesama perempuan, yang biasanya kompetitif, saya tentu benci Bandung. Nggak suka. Eh tapi, tentu tidak semua perempuan seperti saya ya. Bahkan mungkin lebih banyak perempuan yang ingin berteman dengan Bandung. Berbondong-bondong bertemu dan akrab dengan dia, untuk “mencontoh” kemodisannya, lalu merasa cukup sahih mengaku modis.
Saya sering protes ketika keluarga memutuskan berlibur ke Bandung. Saya cuma bisa merutuk dan manyun duduk di dalam mobill, karena yang saya lihat sepanjang Bandung hanya kemacetan, deretan factory outlet, dan keramaian para pemuja Bandung. “Kenapa sih orang-orang suka dan sering ke Bandung?” tanya saya penuh kekesalan, kecemburuan tepatnya. Sejak pertama kali saya ke sana (entah kapan itu, saya lupa) hingga 11 Agustus 2013, sikap dan perasaan saya terhadap Bandung tak pernah berubah.
Kamu boleh menyebut ini sebuah ironi. Ketika secara impulsif di malam 11 Agustus 2013, saya memilih mengunjungi Si Mbak Modis untuk merayakan perpisahan dengan Twenty Something. Waktu itu, beberapa jam lagi saya akan memasuki usia mengerikan, angka setelah 29. Dan saya ingin melewatinya di tempat “istimewa” dan tentu saja sendirian. Saya belum yakin benar-benar akan ke sana sampai petugas travel memberitahu bahwa ada satu penumpang yang menunda keberangkatannya. Oiya, pilihan kedua malam itu, kalau saya kehabisan kursi, adalah menikmati satu-dua cangkir kopi hingga pagi di sebuah warung kopi di daerah Sarinah.
Tepat pukul 20:00, mobil yang saya tumpangi melaju. Malam itu saya santai menikmati jalan cerita yang Tuhan tentukan untuk saya. Saya sengaja tidak berpikir akan menginap di mana. Saya sengaja tidak menyusun itinerary akan mengunjungi tempat mana saja dan melakukan apa. Saya sengaja tidak menentukan akan berapa hari di sana.
Sebelum sampai di Bandung, secara ajaib, saya akhirnya tahu akan menginap di mana. Ajeng, seorang teman blogger yang sekolah di Jerman dan sedang pulang kampung ke Indonesia, yang belum pernah saya temui, menawarkan menginap di tempat adiknya di daerah Cicendo. Saya meminta supir mobil travel untuk mengantarkan saya ke sana. Bisa dibilang, malam itu saya jadi tamu tak diundang bagi Ajeng. Lucunya, saya langsung merasa terkoneksi dengan Ajeng. Seperti sudah kenal dan bertemu sejak lama. Ya, saya melewati perpisahan dengan Twenty Something bersama seorang-asing-rasa-teman-lama bernama Ajeng. Saya menghabiskan sisa malam dengan terlelap bersama hembusan napas Bandung yang ternyata cukup dingin.
Senin pagi, 12 Agustus 2013, saya berusia angka setelah 29. Pagi itu, saya menatap wajah Bandung lebih jelas. Cantik. Beberapa kali saya menghirup dalam-dalam aroma segar tubuhnya. Kiri-kanan jalan masih berdiri tegak pohon-pohon rindang, yang membuat saya lebih memilih berjalan kaki untuk menyapa Bandung. Karena masih libur Lebaran, macet di Bandung tentu sudah biasa. Tak jadi soal, saya tetap bisa bercengkrama dengan Bandung. Saya melihat raut kesal di wajah orang-orang yang ada di dalam deretan mobil yang terjebak kemacetan. Persis wajah saya dulu.
Saya mendekati Bandung pelan-pelan. Dia menjulurkan tangannya ramah. Dia kemudian membawa saya ke beberapa tempat yang dianjurkan oleh seorang teman. Saya menyebutnya tempat bengong-bengong. Dari Cicendo, kami jalan kaki ke Taman Salman, depan Institut Teknologi Bandung. Sambil mencicip lumpia basah, saya duduk bengong beberapa jam. Lalu kami berjalan kaki ke arah Jalan Sultan Agung No. 9, membahagiakan perut dengan sepiring Nasi Goreng Hitam dan segelas Es Alpukat di Rumah Makan Legoh. Nikmat.
Hari itu selesailah kencan saya. Karena, secara ‘ajaib’, saya diharuskan sudah berada di Jakarta besok. Saya pulang dengan travel yang sama. Sepanjang jalan saya tak henti tersenyum. Senang bertemu teman-lama-tapi-baru bernama Ajeng dan teman-baru-tapi-lama bernama Bandung. Terima kasih kepada teknologi bernama Google Maps yang mengantarkan saya dengan selamat ke tempat tujuan, tanpa tersesat sedikitpun. Yang mengajak saya melihat wajah lain Bandung dengan cara menggeret saya menyusuri sebuah kampung kecil.
Perkenalkan singkat saya dengan Bandung sepanjang berjalan kaki sekitar 20 km memberikan kesan sedikit berbeda terhadapnya. Memang benar dia perempuan cantik, modis, dan menyenangkan. Tapi ternyata dia tak sesombong yang saya kira. Bahkan dia sangat ramah. Sayalah yang dulu terlalu sombong tak mau kenal dan dekat dengannya.

Hai Bandung, nanti kita kencan lagi ya :)



9 comments:

  1. sampe segitunya angka nya gak mau disebut. huahahaha.

    happy birthday yang setelah 29 ya... :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih Koh! doain gue kayak lo ya, Life begins at 30. Aamin.

      Delete
  2. Replies
    1. Anciiiillll :* Hmmm iya ya... keep calm, we're only... 29+1 =)) tetep ga rela gitu udah pake angka 3. Maunya, poreper 21 :p

      Delete
  3. Kamu udah 30 tahun ya?? Tua amat.....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Heh! Cubit nih ya..
      *mewakili Emy, sesama 30*

      :)

      Delete
    2. iya Cil, cubit aja tuh si Sarvic! Padahal dia duluan beberapa bulan tuh 29+ nya >_<

      Delete
  4. Selamaaaat My. Selamat ultah ke 29 plus. Selamat kembali lagi ke blog ;). Aaaand... Selamat datang ke klub After 29 ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you Vica :* Btw, lo udah pindah ke Belanda? Asikk, bisa melipir dong ke tempat lo dong kalau gue terdampar ke sana. #modus #celamitan :p

      Delete