Dari Cicendo menuju ITB. |
Menurut saya,
Bandung itu seorang perempuan. Berparas cantik, berkulit bersih,
bertubuh langsing, berambut panjang dan lurus. Persis prototipe cewek-cewek
Kota Kembang. Dia modis, gaul, dan menyenangkan. Orang-orang pasti penasaran
kenalan dan kemudian berebut dekat dengannya. Dia tahu betul kelebihan dan
kepopulerannya itu. Dengan kata lain, dia sombong.
Sebagai sesama
perempuan, yang biasanya kompetitif, saya tentu benci Bandung. Nggak suka. Eh tapi, tentu tidak semua
perempuan seperti saya ya. Bahkan mungkin lebih banyak perempuan yang ingin
berteman dengan Bandung. Berbondong-bondong bertemu dan akrab dengan dia, untuk
“mencontoh” kemodisannya, lalu merasa cukup sahih mengaku modis.
Saya sering
protes ketika keluarga memutuskan berlibur ke Bandung. Saya cuma bisa merutuk
dan manyun duduk di dalam mobill, karena yang saya lihat sepanjang Bandung hanya
kemacetan, deretan factory outlet,
dan keramaian para pemuja Bandung. “Kenapa sih orang-orang suka dan sering ke
Bandung?” tanya saya penuh kekesalan, kecemburuan tepatnya. Sejak pertama kali
saya ke sana (entah kapan itu, saya lupa) hingga 11 Agustus 2013, sikap dan
perasaan saya terhadap Bandung tak pernah berubah.
Kamu boleh
menyebut ini sebuah ironi. Ketika secara impulsif di malam 11 Agustus 2013,
saya memilih mengunjungi Si Mbak Modis untuk merayakan perpisahan dengan Twenty Something. Waktu itu, beberapa jam
lagi saya akan memasuki usia mengerikan, angka setelah 29. Dan saya ingin
melewatinya di tempat “istimewa” dan tentu saja sendirian. Saya belum yakin
benar-benar akan ke sana sampai petugas travel memberitahu bahwa ada satu
penumpang yang menunda keberangkatannya. Oiya, pilihan kedua malam itu, kalau
saya kehabisan kursi, adalah menikmati satu-dua cangkir kopi hingga pagi di
sebuah warung kopi di daerah Sarinah.
Tepat pukul 20:00,
mobil yang saya tumpangi melaju. Malam itu saya santai menikmati jalan cerita
yang Tuhan tentukan untuk saya. Saya sengaja tidak berpikir akan menginap di
mana. Saya sengaja tidak menyusun itinerary
akan mengunjungi tempat mana saja dan melakukan apa. Saya sengaja tidak
menentukan akan berapa hari di sana.
Sebelum sampai
di Bandung, secara ajaib, saya akhirnya tahu akan menginap di mana. Ajeng, seorang
teman blogger yang sekolah di Jerman
dan sedang pulang kampung ke Indonesia, yang belum pernah saya temui,
menawarkan menginap di tempat adiknya di daerah Cicendo. Saya meminta supir
mobil travel untuk mengantarkan saya ke sana. Bisa dibilang, malam itu saya
jadi tamu tak diundang bagi Ajeng. Lucunya, saya langsung merasa terkoneksi
dengan Ajeng. Seperti sudah kenal dan bertemu sejak lama. Ya, saya melewati
perpisahan dengan Twenty Something bersama
seorang-asing-rasa-teman-lama bernama Ajeng. Saya menghabiskan sisa malam dengan terlelap
bersama hembusan napas Bandung yang ternyata cukup dingin.
Senin pagi, 12
Agustus 2013, saya berusia angka setelah 29. Pagi itu, saya menatap wajah Bandung lebih jelas. Cantik. Beberapa kali saya menghirup dalam-dalam aroma segar tubuhnya. Kiri-kanan jalan masih berdiri tegak pohon-pohon rindang, yang membuat
saya lebih memilih berjalan kaki untuk menyapa Bandung. Karena masih libur
Lebaran, macet di Bandung tentu sudah biasa. Tak jadi soal, saya tetap bisa
bercengkrama dengan Bandung. Saya melihat raut kesal di wajah orang-orang yang
ada di dalam deretan mobil yang terjebak kemacetan. Persis wajah saya dulu.
Saya mendekati
Bandung pelan-pelan. Dia menjulurkan tangannya ramah. Dia kemudian membawa saya
ke beberapa tempat yang dianjurkan oleh seorang teman. Saya menyebutnya tempat
bengong-bengong. Dari Cicendo, kami jalan kaki ke Taman Salman, depan
Institut Teknologi Bandung. Sambil mencicip lumpia basah, saya duduk bengong
beberapa jam. Lalu kami berjalan kaki ke arah Jalan Sultan Agung No. 9, membahagiakan
perut dengan sepiring Nasi Goreng Hitam dan segelas Es Alpukat di Rumah Makan
Legoh. Nikmat.
Hari itu
selesailah kencan saya. Karena, secara ‘ajaib’, saya diharuskan sudah berada di
Jakarta besok. Saya pulang dengan travel yang sama. Sepanjang jalan saya tak
henti tersenyum. Senang bertemu teman-lama-tapi-baru bernama Ajeng dan
teman-baru-tapi-lama bernama Bandung. Terima kasih kepada teknologi bernama Google Maps yang mengantarkan saya dengan selamat ke tempat tujuan, tanpa tersesat sedikitpun. Yang mengajak saya melihat wajah lain Bandung dengan cara menggeret saya menyusuri sebuah kampung kecil.
Perkenalkan singkat saya dengan Bandung
sepanjang berjalan kaki sekitar 20 km memberikan kesan sedikit berbeda terhadapnya.
Memang benar dia perempuan cantik, modis, dan menyenangkan. Tapi ternyata dia
tak sesombong yang saya kira. Bahkan dia sangat ramah. Sayalah yang dulu terlalu
sombong tak mau kenal dan dekat dengannya.
Hai Bandung, nanti
kita kencan lagi ya :)
sampe segitunya angka nya gak mau disebut. huahahaha.
ReplyDeletehappy birthday yang setelah 29 ya... :D
makasih Koh! doain gue kayak lo ya, Life begins at 30. Aamin.
DeleteKeep calm, we're only 30!
ReplyDelete:*
Anciiiillll :* Hmmm iya ya... keep calm, we're only... 29+1 =)) tetep ga rela gitu udah pake angka 3. Maunya, poreper 21 :p
DeleteKamu udah 30 tahun ya?? Tua amat.....
ReplyDeleteHeh! Cubit nih ya..
Delete*mewakili Emy, sesama 30*
:)
iya Cil, cubit aja tuh si Sarvic! Padahal dia duluan beberapa bulan tuh 29+ nya >_<
DeleteSelamaaaat My. Selamat ultah ke 29 plus. Selamat kembali lagi ke blog ;). Aaaand... Selamat datang ke klub After 29 ;)
ReplyDeleteThank you Vica :* Btw, lo udah pindah ke Belanda? Asikk, bisa melipir dong ke tempat lo dong kalau gue terdampar ke sana. #modus #celamitan :p
Delete