Iya, saya munafik.
Saya pernah bilang, kalau sudah suka cowok, saya nggak akan banyak kriteria seperti fisik dan lain-lain. Kenyataannya? Omongan sama tindakan saya bertolak belakang.Hari ini, saya mengaku pernah menolak cowok karena alasan yang rada aneh: 1. Dia nggak bisa berenang; 2. Dia nggak bisa nyetir mobil; 3. Dia nggak kuliah. Padahal dia baikkkk, sopan, dan secara karakter cocok sama saya. Saya juga nyaman ngobrol dan dekat sama dia. Klik deh pokoknya. Karena kami sebelumnya memang berteman lebih dulu.
Tadinya saya pakai alibi “Saya nggak nyaman pacaran sama dia karena hubungan pertemanan jadi rada kikuk. Dia jadi ga ‘seru’ lagi. Biasanya nyela-nyela saya, eh jadi lembut dan sayang sama saya”. Lalu, baru seminggu berubah status pertemanan jadi pacaran dan belum sempat kencan pertama, saya akhirnya mutusin dia. Lewat sms pula. Dan dia cuma pasrah bilang “Ya terserah kalau itu keputusan kamu”.
Nah, baru-baru ini dia nongol lagi. Singkat cerita, kami keep in touch lagi. Dan akhirnya nyerempet2 mau coba seperti dulu (baca: pacaran). Tapi saya belum yakin. Dan mikir lagi kenapa dulu saya mutusin dia.Ternyata, alasan yang sebenar-benarnya adalah: karena dia nggak kuliah, nggak bisa nyetir mobil, nggak bisa berenang, dan nggak bisa main alat musik. Voila, saya ternyata typical perempuan yang selalu membayangkan cowok idaman seperti yang ada di Hollywood movies. Jijik? Silakan.
Awalnya saya sangat yakin kalau saya benar-benar cinta orang itu pasti nggak akan ada keraguan dan rentetan kriteria seperti di atas. Ah ternyata tidak juga. Saya ingat dulu pernah jatuh hati sama cowok di SMA, tapi jadi ilfeel gara-gara Si Cowok nggak jago matematika. Atau naksir cowok di kuliah tapi jadi drop gara-gara english-nya parah dan nggak bisa nyetir mobil. Kalau begitu, artinya saya tidak benar-benar jatuh cinta atau emang sayanya aja yang bullshit?
Sekarang, saya lagi menimbang-nimbang, apakah saya harus ‘sadis’ untuk kedua kalinya–menolak dia (dengan alasan yang sama atau mengaku alasan yang sebenarnya). Padahal, saya merasa happy ngobrol sama dia, selalu pengin cerita sama dia, dan sering kangen kalau dia nggak nongol. Tapiii, kalau tiba-tiba ingat ajakan nikah dari dia, kok saya jadi takut dan ragu. Alasannya? Karena saya akan menghabiskan sisa hidup saya dengan pria yang nggak kuliah, nggak bisa nyetir mobil, dan nggak bisa berenang. Ahahahaha, silly and childish, yes? Sok laku banget ya saya, kriterianya banyak dan aneh.
Walaupun saya tahu dia orang yang bertanggung jawab. Dan soal kriteria konyol saya yang tidak dimilikinya sebenarnya bisa dipenuhi di kemudian hari. Soal kuliah, sebenarnya dia niat melanjutkan kuliah. Cuma belum sempat aja karena keasikan kerja. Soal nyetir mobil dan berenang, kan bisa belajar. Tapi, saya tetap bersikukuh dengan keraguan saya itu. Dan menyalahkan Tuhan kenapa menghadirkan keraguan ini. Seandainya saja dia kuliah, bisa berenang, dan bisa nyetir mobil, pasti saya langsung said “Yes” waktu dia ngajak saya nikah. Apalagi kami nyambung dan saya udah kenal dia banget. Huh… seandainya ini bisa lebih mudah.
Seorang teman bilang ke saya cowok yang sesuai kriteria kita itu cuma ada di sinetron. Nggak bakalan ada. Kalaupun ada, pasti dia already taken atau bahkan nggak ngelirik kita sama sekali. Dia menyarankan saya untuk mencoba dulu hubungan yang satu ini. Dia bilang, dicintai seseorang itu adalah sesuatu yang “mahal”. Saya langsung protes “Tapi lebih indah lagi kalau cintanya timbal balik kan?” (masihhh aja nyari alasan :p) Dia bilang, selagi itu orang baik dan saya lagi butuh ‘kehangatan’, jalani saja dulu. Nanti, katanya lagi, kalau ternyata merasa nggak mutual dengan saya, cowok itu pasti akan mundur dan berhenti mencintai saya. Begitu kata teman saya.
Tapi kok saya merasa tidak adil ke cowok itu yah? Saya merasa egois sekali mau terima perhatian dia tapi nggak mau menerima kekurangan dia. Prinsip saya, kalau dari awal udah nggak sreg dan nggak yakin, saya akan cut off hubungan itu. But, who does know the end of the relationship until i pass it?
Bingung.
P.s: Saya yakin suatu saat nanti akan bertemu cowok tanpa keraguan sedikitpun. Yes, i have a faith in it. Amin.
No comments:
Post a Comment