Sunday, February 5, 2012

Berburu Batik & Jajan Khas Pekalongan


Pengaruh lokasi di pesisir pantai utara Pulau Jawa, membuat Pekalongan punya corak dan warna batik yang khas. Saya berburu batik di pusat kota. Lengkap dengan wisata jajan yang hanya ada di Kota Santri ini.  



Saya sampai di Stasiun Pekalongan sekitar pukul 13:30, kurang lebih empat jam perjalanan dari Stasiun Gambir Jakarta Pusat menggunakan kereta cepat eksekutif. Kalau menggunakan kereta ekonomi mungkin bisa menempuh waktu kurang lebih enam jam.

Ini perjalanan perdana saya ke Pekalongan. Saya langsung disambut udara panas dengan terik matahari menyengat. Mungkin karena pengaruh letak Pekalongan di pesisir pantai utara (Pantura) Pulau Jawa. Ditambah debu dan kepulan asap knalpot truk dan bis antarkota yang hilir mudik. Tapi situasi ini tidak menyurutkan semangat saya untuk berburu batik. 

Ditarik Pak De Becak.

Berdasarkan saran teman, saya mencari penginapan yang berada di jantung kota, yaitu Hotel Nirwana di Jalan Dr. Wahidin No. 11. Saya menggunakan becak untuk sampai ke hotel itu. Setelah tawar-menawar, pengemudi becak mau mengantarkan saya dengan ongkos Rp10 ribu.

Sesaat saya dan koper naik ke atas becak, tiba-tiba si Abang Becak menarik becak dari depan. Sambil berjalan, bukan mengayuh sepeda yang ada di belakang. Saya sempat terkejut. Apakah Bapak ini akan menarik saya dan bawaan yang tentu tidak ringan ini sampai ke hotel? Apalagi panas terik begini. Saya hampir saja turun dari becak karena tidak tega. Ah, ternyata perkiraan saya salah. Ia hanya menarik sebentar saja karena harus melewati jalanan menanjak. Setelah itu, dia pun kembali ke kemudinya di belakang.

Kampoeng Batik Kauman
Sepanjang perjalanan, saya melihat banyak madrasah. Tak heran jika Pekalongan dikenal sebagai Kota Santri. Dan sepanjang jalan itu pula berjajar plang toko batik. Bahkan ada beberapa yang juga menawarkan workshop membatik. Saya sudah tidak sabar ingin mengunjunginya.

Karena begitu banyaknya toko yang menjual batik, saya memutuskan mendatangi Kampoeng Batik Kauman. Kabarnya di sana terdapat puluhan warga yang menjadi pengrajin batik. Mereka membuka usaha di tempat tinggal mereka sendiri. Letak kawasan pelestarian batik asli Pekalongan itu tak jauh dari lokasi penginapan saya, yaitu di depan Alun-alun. Saya hanya berjalan sekitar 500 meter untuk sampai ke sana. Capek? Tidak terlalu kok. Sambil berjalan, kamu bisa melihat toko-toko lainnya. Tapi kalau tidak kuat berjalan kaki, kamu bisa menggunakan jasa becak yang ongkosnya kira-kira Rp7 ribu.



Gapura “Kampoeng Batik Kauman” pertanda saya telah memasuki wilayah pelestarian batik itu. Jalan menuju sana tak terlalu lebar. Suasana kampung batik telah terasa karena hampir setiap rumah berfungsi ganda sebagai toko batik. Saya lalu mendatangi sekretariat Paguyuban Kampoeng Batik Kauman. Saya disambut ketua paguyuban Ma’moon Noor dan Ella AR (salah satu pengurus). Ella mengajak saya berkeliling melihat berbagai proses pembuatan batik, meliputi batik tulis, batik cap, dan batik printing. Menarik! Generasi tua masih aktif membatik dan generasi muda pun bangga membatik.

Atas: Proses batik cap.
Bawah: Produksi batik printing.

Remaja putri yang masih peduli pada batik.

Generasi tua pun tak mau kalah membatik.

Berdirinya Kampoeng Batik Kauman merupakan adaptasi dari kampung batik serupa yang ada lebih dulu di Solo dan Yogyakarta. Di kampung ini ada sekitar 50 pengusaha batik. Ella menjelaskan, tujuan pendirian kampung ini adalah untuk melestarikan batik di Pekalongan.

"Batik Pekalongan dipengaruhi oleh budaya Belanda, Eropa, dan Cina. Berbeda dengan batik Solo atau Yogyakarta yang warnanya gelap (cokelat dan hitam), batik Pekalongan warnanya lebih cerah, berani, dan variatif,” jelas Ella. Sedangkan motif khas batik Pekalongan adalah buketan (rangkaian bunga) dan jelambrang (motif bulatan). Motif jelambrang merupakan pengaruh dari Arab.

Ibu Ella memperlihatkan contoh corak buketan.

Kalau yang ini, motif jelambrang.

Saya mendatangi beberapa rumah warga yang sekaligus menjual batik. Salah satunya, toko khusus menjual mukena bermotif batik. Toko pertama yang saya datangi adalah “Fifty Batik” di Gang 10 No. 36. Mukena yang dijual di sana harganya berkisar Rp65 ribu hingga Rp160 ribu. Mulai dari mukena batik cap berwarna, corak camsong, sampai mukena batik lukis. Ukurannya bermacam-macam: ada yang untuk anak-anak dan untuk wanita dewasa. Harga masih bisa ditawar, apalagi kalau Anda memesan dalam jumlah yang banyak. Toko lain yang juga menjual mukena batik adalah  “Dinni Batik”, di Gang 8 No. 10.  Harga mukena batik di sini pun bersaing.




Toko “Zend Batik” menjual sarung batik cap (Rp95 ribu), kain batik cap panjang plus selendang (Rp150 ribu), bahan blus batik cap 2 meter (Rp75 ribu), dan bahan hem (Rp75 ribu). Ia juga menyediakan hem jadi (Rp95 ribu), kain 2,5 meter batik tulis (Rp550 ribu), kemeja sutra tulis (Rp750 ribu), sarung dan selendang sutra batik tulis (Rp6,5 juta). Batik tulis memang relatif lebih mahal karena proses pembuatannya yang lama dan memerlukan keahlian khusus. Tapi tentu hasilnya lebih halus, awet, dan orisinal daripada batik cap. 


Jajan Khas Seputar Alun-Alun
Tak terasa hari telah petang dan perut saya mulai keroncongan. Setelah lelah berkeliling Kampoeng Batik Kauman, saya ingin melepaskan rasa lapar saya dengan mencicipi makanan khas Pekalongan yang letaknya tak jauh dari alun-alun.

Alun-alun yang saat pagi berfungsi sebagai tempat olahraga masyarakat Pekalongan, malamnya berubah menjadi pasar kaget. Beberapa warung tenda pun bermunculan, termasuk yang menjual penganan khas kota ini. Saya memutuskan mencoba tiga jajan khas Pekalongan: Soto Pekalongan, Sego Megono, dan Garang Asam.

Soto Pekalongan
Saya mendatangi kedai Soto Pekalongan milik H. Agus Salim Damudji. Ia mewarisi usaha ayahnya yang berdiri sejak tahun 1925. Ciri khas Soto Pekalongan terletak pada bumbu tauco sebagai bahan campuran. Agus memodifikasi resep warisan itu dengan mengusung ide soto nonkolesterol. Soto ini tidak memakai vetsin sama sekali. Kaldu yang digunakan pun kaldu daging asli, bukan kaldu instan. Selain itu, bagian daging sapi yang digunakan bukan yang mengandung banyak kolesterol.


Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat Soto Pekalongan adalah tauco, gula jawa, gula pasir, kaldu daging, daging sapi bagian iga paha, dan bihun. Agar lebih sedap, soto biasanya ditaburi daun bawang dan bawang goreng. Hidangan ini nikmat bila disantap dengan nasi hangat ataupun lontong. Sebagai pelengkap, kamu bisa menambahkan kerupuk, tempe atau tahu goreng.

Mudah kok menemukan Kedai H. Agus. Datang saja ke alun-alun. Kedainya buka dari pukul 17:00 – 23:00. Harga semangkok soto Rp10 ribu (pakai nasi atau lontong). Kalau soto saja, Rp8 ribu. Harga kerupuk Rp500, sedangkan gorengan Rp700.

Sego Megono
Sego dalam bahasa jawa artinya nasi. Megono artinya nangka muda. Bumbu-bumbu Sego Megono terdiri dari bahan-bahan seperti bawang merah, bawang putih, kelapa parut, ketumbar, kemiri, laos, daun salam, terasi, cabai giling, combrang, dan bunga pisang. Nangka muda yang telah dibersihkan lalu dicincang dan kemudian dikukus. Sesaat akan matang, masukkan bumbu dan aduk hingga bercampur rata.


Sego Megono bisa dimakan begitu saja. Rasanya sudah cukup gurih dan tentu mengenyangkan. Sego Megono bisa kita nikmati hanya dengan mengeluarkan uang sebesar Rp1.500. Biasanya, tersedia pula lauk pelengkap seperti opor ayam (Rp6 ribu), ikan laut (Rp4.500), telur (Rp4.500), sayur tahu (Rp2.500). Gorengan tahu dan tempe dapat Anda nikmati Rp1.000 per buah. Oiya, Kedai Ibu Dasuni buka di Alun-alun Pekalongan dari pukul 15:00 – 22:00.

Garang Asam
Rumah Makan H. Masduki menyajikan garang asam sebagai hidangan andalan. Rumah makan ini berdiri sejak 1957 dan letaknya tak jauh dari alun-alun. Bahan utama garang asam adalah daging beserta isi perut sapi yang direbus. Bumbunya cabai rawit dan kluwek (bumbu hitam mirip rawon tapi lebih encer). Rasanya segar!

Harga garang asam plus nasi Rp12 ribu. Lauk-pauk lain yang dijual di rumah makan ini adalah rendang (Rp12 ribu), otak (Rp10 ribu), telur, udang, ikan tenggiri (Rp6 ribu), kornet, kerang (Rp8 ribu), dan cumi-cumi (Rp9 ribu). Rumah makan ini buka dari pukul 16:00 sampai pukul 02:00.


Pertama Kali Ke Pekalongan?

  • Kereta. Berangkatlah di hari biasa, bukan akhir pekan. Karena pada saat itu harga tiket lebih murah. Selain itu, karena Stasiun Pekalongan cuma stasiun kecil, kamu harus siaga jika sebentar lagi akan sampai. Ingatkan petugas, kamu akan turun di Pekalongan. Kenapa penting? Karena kereta biasanya hanya berhenti sebentar. Kalau lalai, kamu bisa terbawa ke stasiun selanjutnya.
  • Penginapan. Pilihlah lokasi penginapan di jantung kota. Daerah sekitar Alun-alun cukup strategis untuk mencapai berbagai tempat. Hanya dengan jalan kaki, kamu bisa memangkas biaya transportasi.
  • Transportasi. Transportasi umum di Pekalongan adalah angkutan kota (angkot) dan becak. Ongkos angkot biasanya Rp1.000 - Rp3000. Kalau kamu memilih becak untuk berkeliling, tawaran tertinggi biasanya Rp10ribu. Mengingat kota Pakalongan yang relatif kecil. Kalau kamu menggunakan becak, sediakan pula uang recehan Rp500 – Rp1.000. Karena di jalan yang menanjak biasanya ada anak kecil atau pemuda yang membantu mendorong becakmu.


P.s: Pernah dimuat di Majalah Sekar No. 35/10. Teks dan foto: en-emy.blogspot.com

5 comments:

  1. batiknya bagus2 ya bu..
    saya belum pernah ke pekalongan. walaupun sebenernya ada saudara jauh yang tinggal di pekalongan. tapi kalo ketemu ya di jakarta. hahaha.

    btw iya ngeliat foto pas naik becaknya kirain emang ditarik di depan. ternyata cuma pas tanjakan aja ya. kasian banget kalo beneran sepanjang jalan ditarik gitu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Pak, batiknya bagus2. Silakan dipilih (opo toh iki). Ahahahaha.

      Gw baru pertama kali ke sono dan tanpa guide. Seru sih Mas. Dan adegan ditarik becak itu sempat bikin gw panik. Ahahahaha.

      Delete
  2. wah seru banget jalan-jalan ke Pekalongan, liat proses bikin batik dan wisata kuliner pula.. pasti menyenangkan ya? :)

    btw dulu pas aku masih jadi Au Pair, anak aku yang kecil pernah disuruh bawa kain polos ke TK nya, mereka mau bikin batik! haha, banggga :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya menyenangkann banget Jeng.
      apalagi pas di Kampoeng Batik Kauman, warga sehari-hari ya membatik. seneng liatnya.

      yang rada bikin serem palingan truk2 gede pantura yg berseliweran. susah banget kalo mo nyebrang -__-

      waw, di Jerman kenal batik juga? *ikut bangga*

      Delete
  3. artikelnya menarik utk dibaca,.. kebetulan saya juga tertarik utk pergi wisata Batik di Pekalongan....( katanya di Kampung Kauman banyak Home stay nya ya?).

    ReplyDelete