Tuesday, May 5, 2015

Belajar Menyenangi Takdir

Ada yang bilang, hati-hati dengan doamu. Kali ini, saya 'kena batunya'. Dan rasanya campur aduk.

Di dua posting-an terakhir,  sekitar setahun lalu, saya pernah bilang nggak berniat jadi PNS seumur hidup. Lantas kenapa apply? Jujur, dulu saya melamar berbagai lowongan PNS di kementerian/lembaga pemerintah karena satu alasan: ingin membahagiakan orang tua. Ternyata alasan itu cukup ampuh. Alhamdulillah semesta meloloskan saya jadi pegawai salah satu kementerian.

Apakah semua berjalan baik? Tidak semudah itu. Di hari pertama, saya sudah mengeluh. Pun hari-hari selanjutnya. Membahagiakan orang tua tuh susah banget ya. Apalagi dengan cara menjalani pilihan setengah hati. Kalau nggak terbayang wajah Mama Papa yang super happy lihat anaknya jadi PNS, saya mungkin sudah resign sejak pekan pertama. Alasannya? Karena saya nggak cocok dengan kultur PNS, bahkan sebelum saya bekerja di situ.

Kemudian saya mulai berdamai dengan diri saya dan keadaan. Istilah mahasiswi saya, belajar menyenangi takdir. Saya mencoba mencari distraction dari beberapa ketidaknyamanan yang saya temukan. Kalau sedang di posisi almost give up, saya langsung cepat-cepat membayangkan wajah Mama Papa saya atau menanyakan mereka: "Mama senang ya aku kerja di sini?". "Ya senang dan bangga banget lah, Nak," kata Mama. Jawaban itu menjadi amunisi yang cukup untuk kembali bertahan.

Tapi, hati saya nggak bisa bohong. Hati nurani saya nggak nyaman menghadapi segala 'ketidaknyamanan' di sana. Pengin sok pura-pura cuek, nggak bisa. Rasanya, setiap hari saya nggak happy. Diam-diam, setiap hari, setiap kesempatan, saya berdoa sama Allooh SWT, minta dibantukan mencari jalan keluar. Ya, keluar dari tempat itu. Tentu dengan ridho kedua orang tua saya. Karena saya sendiri nggak tahu bagaimana caranya bisa escape tapi dapat ridho dari orang tua. Satu-satunya cara yang sempat terpikir, saya 'diculik' sama my future husband. Tapi saya sendiri nggak tahu kapan si future husband akan muncul. Akhirnya saya cuma pasrah, terus berdoa.

Akhir Februari 2015, Allooh SWT menjawab doa saya dengan cara tidak biasa. Cara yang bikin saya campur aduk: shocked, denial, sad, but ..... happy. Singkat cerita, di luar dugaan, Mama Papa saya mengizinkan dan memberi restu saya untuk resign. Meskipun, 'in return' saya harus menerima takdir ada gangguan dengan paru-paru saya. Waktu itu saya sempat denial 'divonis' sebagai pesakitan. Untuk fokus penyembuhan yang butuh waktu nggak sebentar, saya memutuskan resign.

Sedih juga sih melepaskan kebahagiaan Mama Papa saya. "Mama emang bangga kamu jadi PNS. Tapi Mama juga nggak mau lihat kamu sakit. Makasih ya Nak udah ngikutin keinginan Mama selama setahun ini," kata Mama yang bikin sesegukan. Semoga saya bisa membahagiakan mereka dengan cara lain, tentu dengan catatan saya pun harus bahagia. Aamiin.

Well, meskipun sekarang harus ikhlas dan sabar menjalani pengobatan dan pemulihan kesehatan, saya tetap bersyukur banget karena Allooh SWT sudah menjawab doa saya. Saya semakin yakin, betapa pertolongan Allooh SWT itu sangat dekat. Betapa Allooh SWT sayang banget sama saya. Terima kasih ya Allooh... Alhamdulillah.

So, this is my destiny:
1 Maret 2014, diterima jadi CPNS
1 Maret 2015, mengundurkan diri jadi CPNS

We never know what's next.
All i can do is keeping belajar menyenangi takdir.




5 Mei 2015
Em.







No comments:

Post a Comment