Monday, February 27, 2012

An 'Honor' Guest Named Family

Credit: S Braswell (sxc.hu)

Masih cerita weekend kemarin. Saya bertugas jadi penerima tamu di acara syukuran khitan adik bungsu Ai. Jauh-jauh hari, Ai dan mamahnya berharap banyak pada saya, tepatnya sama "ketegaan" saya untuk jagain suvenir dari 'tangan-tangan' celamitan keluarga besar. "Bilang aja, kamu dari pihak katering," kata Ai. "Hehhh? Enak aja aku dibilang mbak-mbak katering. Lah bilang aja aku temen kamu!" jawab saya ogah disangka Mbak-mbak katering. Ahahahahaha. "Tenang iii, gampaaang! Nanti mereka aku galakin!"

Saya maklum dengan kekhawatiran Ai dan Si Tante. Nggak cuma di keluarga Ai, keluarga besar saya dan sebagian besar keluarga lainnya (terutama di Indonesia) biasanya jadi pihak paling rempong saat ada perhelatan macam nikahan, lamaran, khitanan, dan acara lainnya. Mulai dari nggak nurut sama protokoler yang sudah disusun panitia (datang terlambat, terobos masuk daerah yang harusnya steril, dan lain-lain), nyuri "start" makan, ngerampok suvenir, ngatur ono ini yang bukan tugasnya, atau justru malah nggak menjalankan tugas yang sudah disepakati.

Kenapa begitu ya? Karena mereka merasa ikut memiliki acara itu? Sehingga mereka merasa berhak mengatur, berlaku seenaknya, dan ingin diistimewakan? Kalau merasa memiliki acara itu, bukankah mereka seharusnya berlaku sebagai tuan rumah yang baik, menyukseskan acara, dan mendahulukan tamu?

Keluarga besar saya juga begitu tuh. Ditugaskan jadi among tamu, bukannya standby menyambut kehadiran tamu, ehhhhh malah sibuk foto-foto dan hahahihi sama tamu lain. Alhasil, spot among tamunya kosong melompong. Sia-sia sudah mereka sengaja dikasih seragam biar kelihatan ciamik. Yang tidak kebagian tugas, selain minta suvenir dalam jumlah banyak, ada juga yang nggak sabaran dapat giliran foto bersama. *tepok jidat*

Mama pernah bilang, memang lebih enak minta tolong ke teman-teman kantor atau tetangga. Mereka biasanya profesional menjalankan tugas. Kalau sama keluarga urusannya jadi panjang. Hmmm ada benarnya juga si Mama.

Saya ingat, waktu nikahan Unina, mama meminta tolong juniornya di kantor. Tapi tentu keluarga besar juga dilibatkan, walaupun ribet nggak ketulungan. Waktu itu saya kebagian tanggung jawab urusan dokumentasi. Di rundown sudah dijadwalkan setelah selesai dandan, pengantin difoto dulu. Lalu masuk ke gedung jam sekian. Nah, waktu itu masih ada waktu 30 menit untuk foto. Ehhh, salah satu Om saya ribut nyuruh pengantin masuk gedung. Haduuuuhhhh, padahal harusnya dia sudah tahu rundown-nya. Waktu itu saya tegaskan saja, "Sekarang foto dulu, masih ada waktu 30 menit." Mas-mas studionya bingung mau ngikutin saya atau si Om. Untungnya mereka "jiper" lihat mata saya yang melotot. Si Om cuma bisa komat-kamit kesal.

Kembali ke cerita tugas saya kemarin, ampuuunnn deh ternyata benar apa yang Ai bilang soal Mami (eyang dari pihak mamanya). Doi getol beberapa kali "malakin" suvenir yang jumlahnya terbatas. Emang sih, maksudnya Mami baik: bagi-bagi ke anak keponakannya. Tapi kan Miiii, suvenirnya cuma segitu-gitunya. Kasihan tamu, terutama yang sudah jauh-jauh datang,  tidak kebagian suvenir. Pertama, pas acara dimulai, Mami senyum-senyum lihat kupon suvenir, "Apa itu? Nanti aku yang tua ini kebagian kannn?" Trus pas pertengahan acara, doi balik lagi dan bilang, "Mbak, masih ada kan suvenirnya? Aku minta satu ya." Waktu itu saya senyum dan dengan tegas bilang, "Nanti ya Eyang, tunggu semua kebagian dulu." Doi tetap maksa :(( Sayapun terpaksa ngasih karena waktu itu ada tamu yang menghampiri meja. Malu ah kalau ribut-ribut begitu. Yah, kecolongan satu deh. Ahahahhaa.

Merasa berhasil, Mami mencoba peruntungan kedua kali. Dengan alasan untuk keluarga yang lain. Waktu itu yang menghadapi kebetulan bukan saya, tapi Manyo. Sudah pasti dikasih. Manyo kan baik hati dan tidak sombong. Hihihihi. Ehhhh, yang lain juga mulai ikutan minta. Ada seorang Mbak-mbak pakai kalimat sakti, "Saya saudara ibunya lhooo". Ehhhh untung si Tante tiba-tiba nongol keluar dan dia sendiri yang bilang "Tunggu nanti semua kebagian." Baru deh si Mbaknya itu nggak jadi minta.

Yayaya... agak dilema juga yah kalau mau bersikap tegas dengan pihak keluarga yang sedikit "susah diatur" seperti itu. Satu yang saya hindari: ribut dan bikin tidak nyaman tamu lain.

8 comments:

  1. emang kadang bingung ya ama orang2 yang suka begitu. ngapain sih demen banget koleksi souvenir. hahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ga tauuuu.
      kalau aku sih, nggak terlalu nafsu.
      ada sisa sukur, ga ada ya udah.
      yang penting acaranya lancar.

      Delete
  2. udah gitu biasanya souvenirnya dibuang2 juga.. cuma mumpung gratis aja makanya minta banyak.. hahahaha..

    ReplyDelete
    Replies
    1. hmm bener juga Be.
      mungkin karena gratis, jadi kalap deh.
      udah gitu, kadang ribet milih-milih "mau warna itulah, ono lah" ahahahahaha.

      Delete
  3. wkwkwkw untung keluarga besar mamiku ga gitu2 amat. Masih bisa diatur. Maklum wong Solo, pada manut semua hihihi...Kecuali pas pembagian suvenir itu.
    Penjaga tamunya aja juga ikut nyimpen kok heheheh (pengalaman jd penjaga tamu yg ikut2an nyimpen suvenir :p)

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah enak yaaa kalau pada manut gitu.
      kalo di keluarga besar gw, kadang ga tau apa-apa tapi maen ikut ngatur -___-

      Delete
  4. Jadi teringat nikahan adikku...Gk ada komunikasi antara pihak laki dan perempuan, masing2 ngerasa paling berhak, akhirnya yaaa kacau deh...^_^

    Repot banget ya my, bukannya sibuk ngurusin tamu, malah jadi repot ngurusin kebawelan keluarga hahaha...

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyah,
      udah bagus keluarga duduk manis aja deh.
      senyumin tamu-tamu yang datang.
      ya kalau diminta bantuan, bantuin sesuai instruksi. jangan sotoy. hihihi.

      Delete